Jangkar ingatanku terangkat ketika kami berada di sebuah bilik. Untuk kesekian kalinya aku mendampingi orang terkasihku dirawat di bilik ini. Bilik kecil yang sunyi. Sesekali bertegur sapa dan berbincang sejenak dengan pasien atau penjaga pasien serta perawat penjaga yang bertugas.
Jika bukan diri sendiri yang menghibur diri, siapa lagi yang akan melakukannya. Tidak banyak yang dapat dilakukan selama aku mendampingi belahan jiwaku mendapatkan perawatan. Apalagi ketika cairan penyembuh mulai dimasukkan ke dalam tubuhnya perlahan. Cairan tersebut membuat tubuhnya lemas, hingga tertidur.
“Sakit, Say,” keluhnya.
“Sabar ya, insyaAllah Abang kuat,” jawabku lirih yang kubisikkan di dekat telinganya. Aku pun hanya bisa tersenyum untuk menghiburnya.
Baca juga : Surat Kaleng Untuk Hani
Aku harus kuat untuknya, batinku. Sebetulnya bukan aku yang menguatkannya, tetapi justru dia yang menguatkanku. Semangat hidupnya yang tinggi dan tak ingin meninggalkanku dan anak-anaklah yang justru membuatku semakin kuat.
Tubuh kekarnya perlahan kehilangan kegagahannya. Efek cairan tersebut cukup dahsyat, tidak hanya sel yang sakit yang diserangnya, tetapi sel yang sehat pun tak luput mendapatkan dampaknya.
Berhelai-helai rambutnya pun lepas dari singgasananya sehingga kekasihku memintaku untuk mencukurmya bersih. Tak hanya itu, serangan mual yang serta merta membuatnya ingin mengeluarkan semua isi perut pun tak kalah kuatnya. Padahal nyaris tidak ada yang dikeluarkannya, karena minimnya asupan yang dapat dikonsumsinya saat pengobatan berlangsung.
Tak hanya itu nafsu makannya pun berkurang banyak. Semua terasa pahit baginya, seolah-olah indera perasa yang berfungsi hanya bagian pangkal lidah saja. Tak dapat dimungkiri efek samping mengonsumsi obat baik melalui injeksi maupun oral yang menyebabkan rasa pahit tersebut bertahan lama.
Sinar matahari yang hendak berlabuh sore itu menerobos masuk melalui jendela bilik. Sinarnya menghangatkan hati. Aku telah membantunya membersihkan diri saat itu. Suasana senja yang hangat menemaniku menyuapinya sedikit demi sedikit.
Sinarnya yang berwarna jingga mengingatkan kami saat awal menikah dulu. Kami menunggu matahari masuk ke peraduannya di Pantai Cenang, Langkawi. Panorama indah itu selalu dinantikan banyak orang, termasuk kami berdua yang sedang dimabuk asmara. Semoga kami bisa mengulang saat indah itu suatu hari nanti. Anggap saja saat ini kami sedang menikmati swastamita di Langkawi melalui jendela bilik rumah sakit.
Cinta itu menguatkan satu sama lain. Tatapan matanya yang hangat kali ini yang menguatkanku untuk kesekian kalinya. Harapan sembuh itu ada, batinku. Tak hentinya kupanjatkan doa dan harapan pada Ilahi agar memberi kami kekuatan untuk melampaui ini semua.
“Prang!” piring yang kupegang meluncur dengan cepatnya terlepas dari tanganku. Gelap. Sunyi.
***
Suara berisik ini menggangguku, kupaksa mataku untuk membuka, tapi terasa berat. Kugerakkan tanganku, nihil, tak ada tenaga untuk menggerakkannya. Ada apa ini, mengapa seperti ini?, batinku. Ingin kupanggil belahan jiwaku, tapi tak ada suara yang keluar dari bibirku.
Baca juga : Pertolongan Allah Itu Nyata Dalam Cerita Merengkuh Maaf
Perlahan kubuka netraku, sedikit cahaya yang masuk sudah cukup menggambarkan aku berada dimana. Kutemukan beberapa selang menempel di tubuh lemahku. Bunyi berisik yang tadi kudengar ternyata berasal dari alat monitor yang memantau keadaan organ vitalku. Tak ada seorang pun yang bisa menjelaskan padaku tentang ini. Kemana semuanya?
Datanglah seorang paramedis mendekat. “Alhamdulillah kondisi ibu sudah lebih baik dibandingkan kemarin. Istirahat dulu ya Bu,” ujarnya.
“Suami saya mana?” tanyaku lirih dan cemas.
“Suami ibu menunggu di ruang tunggu, sepertinya ditemani putranya. Beliau meminta kami menginformasikan jika ibu sudah sadar. Setelah ini ada dokter yang akan memeriksa kondisi ibu, sebentar ya,” tutur paramedis tersebut dengan sabar.
Dokter paruh baya datang menghampiriku dan menyapa dengan ramah. Dia menjelaskan beberapa hal yang tak dapat kumengerti pada perawat yang mendampinginya.
“Kondisi ibu sudah lebih baik, tetapi kami masih perlu memantau beberapa hal lagi sebelum ibu dipindahkan ke ruang rawat inap. Ibu berkenan ya?” sebuah pertanyaan yang tanpa perlu jawaban pun dilontarkan dokter yang masih tampak cantik tersebut. Akupun hanya bisa mengangguk.
“Saya bisa bertemu suami saya, Dok?” tanyaku sebelum dia beranjak meninggalkanku.
“Bisa, Bu, sebentar lagi ibu bisa bertemu dengan suami ibu,” jawabnya.
Lelaki paruh baya itu mendekat dengan senyum yang selalu kurindukan. Dia mencium keningku untuk beberapa saat. Harum parfumnya yang khas menyeruak, rasanya lama kutak menghirup harumnya.
“Sudah enakan?” tanyanya.
“Sepertinya sudah lebih baik. Aku kenapa? Yang kuingat terakhir piring yang kupegang jatuh. Setelah itu entahlah, rasanya gelap,” jawabku.
“Abang sudah enakan?” tanyaku balik padanya.
“Sudah, tadi pagi sudah bisa makan dengan enak, kemonya tinggal beberapa kali kan, semoga sudah selesai setelah ini. Kata dokter juga hasilnya sudah bagus” jawabnya.
“Kemarin, untung Rahman pas datang menjemput, jadi dia yang mengurusmu saat Say hilang kesadaran,” lanjutnya.
“Sekarang dia di depan bersama istrinya. Tadi dia mau masuk tapi tidak diperbolehkan oleh perawat, katanya diminta bergantian denganku,” imbuhnya.
“Aku sakit apa? Kenapa aku di sini? Ini ICU kah?” tanyaku beruntun karena penasaran.
Bukannya menjawab, dia justru menghela napas dan terdiam sejenak, sepertinya ada kendala untuk menjelaskannya padaku.
“Say dirawat di HCU, besok dijadwalkan pemeriksaan jantung secara menyeluruh. Mungkin kecapekan merawat Abang ya?” jelas suamiku perlahan. Walaupun dia memberitahukan berita yang tak ingin ku dengar ini dengan hati-hati, tetap saja hal ini membuatku terkejut. Sukmaku berteriak seakan tak menerima kenyataan pahit ini.
Mengapa Aku harus dirawat di HCU, tidak mungkin Aku dirawat di sini jika tidak serius penyakitku. Berbagai pertanyaan bersahutan di kepalaku
Suamiku membersihkan bulir bening yang mengalir dari sudut netraku. Menangis, ya ku hanya bisa menangis. Aku tak tahu apa penyakitku, badanku lemas, untuk bernapas saja berat rasanya. Aku tahu suamiku berusaha menenangkanku. Namun tetap saja Aku belum bisa tenang.
Semuanya terasa berat, belum selesai pengobatan kanker suamiku, sekarang giliran aku yang sakit. Istighfar dan syahadat berulang kali kuucapkan dalam hati untuk membuatku tenang. Aku pasrah dan menyerahkan semuanya pada Ilahi.
Tiba-tiba alat yang memantau kondisi vitalku berbunyi, bahkan lebih keras dari sebelumnya. Perawat segera berdatangan dan meminta suamiku untuk keluar dari ruangan. Perawat dan dokter dengan sigap berusaha memacu jantungku. Namun, usaha mereka tak sesuai harapan.
Semua terasa ringan dan tenang. Kulihat suamiku mendekatiku, tubuh yang terbujur kaku itupun tak dapat bergerak lagi. “Kutunggu Kau di keabadian,” bisikku. Kupeluk tubuhnya dari belakang, walaupun dia tak merasakannya.