Tampilkan postingan dengan label Coretan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Coretan. Tampilkan semua postingan

Kutunggu Kau di Keabadian

Jumat, 08 Agustus 2025

Senja di Pantai


Jangkar ingatanku terangkat ketika kami berada di sebuah bilik. Untuk kesekian kalinya aku mendampingi orang terkasihku dirawat di bilik ini. Bilik kecil yang sunyi. Sesekali bertegur sapa dan berbincang sejenak dengan pasien atau penjaga pasien serta perawat penjaga yang bertugas.

Jika bukan diri sendiri yang menghibur diri, siapa lagi yang akan melakukannya. Tidak banyak yang dapat dilakukan selama aku mendampingi belahan jiwaku mendapatkan perawatan. Apalagi ketika cairan penyembuh mulai dimasukkan ke dalam tubuhnya perlahan. Cairan tersebut membuat tubuhnya lemas, hingga tertidur.

“Sakit, Say,” keluhnya.

“Sabar ya, insyaAllah Abang kuat,” jawabku lirih yang kubisikkan di dekat telinganya. Aku pun hanya bisa tersenyum untuk menghiburnya.


Baca juga : Surat Kaleng Untuk Hani


Aku harus kuat untuknya, batinku. Sebetulnya bukan aku yang menguatkannya, tetapi justru dia yang menguatkanku. Semangat hidupnya yang tinggi dan tak ingin meninggalkanku dan anak-anaklah yang justru membuatku semakin kuat.

Tubuh kekarnya perlahan kehilangan kegagahannya. Efek cairan tersebut cukup dahsyat, tidak hanya sel yang sakit yang diserangnya, tetapi sel yang sehat pun tak luput mendapatkan dampaknya.

Berhelai-helai rambutnya pun lepas dari singgasananya sehingga kekasihku memintaku untuk mencukurmya bersih. Tak hanya itu, serangan mual yang serta merta membuatnya ingin mengeluarkan semua isi perut pun tak kalah kuatnya. Padahal nyaris tidak ada yang dikeluarkannya, karena minimnya asupan yang dapat dikonsumsinya saat pengobatan berlangsung.

Tak hanya itu nafsu makannya pun berkurang banyak. Semua terasa pahit baginya, seolah-olah indera perasa yang berfungsi hanya bagian pangkal lidah saja. Tak dapat dimungkiri efek samping mengonsumsi obat baik melalui injeksi maupun oral yang menyebabkan rasa pahit tersebut bertahan lama.

Sinar matahari yang hendak berlabuh sore itu menerobos masuk melalui jendela bilik. Sinarnya menghangatkan hati. Aku telah membantunya membersihkan diri saat itu. Suasana senja yang hangat menemaniku menyuapinya sedikit demi sedikit.

Sinarnya yang berwarna jingga mengingatkan kami saat awal menikah dulu. Kami menunggu matahari masuk ke peraduannya di Pantai Cenang, Langkawi. Panorama indah itu selalu dinantikan banyak orang, termasuk kami berdua yang sedang dimabuk asmara. Semoga kami bisa mengulang saat indah itu suatu hari nanti. Anggap saja saat ini kami sedang menikmati swastamita di Langkawi melalui jendela bilik rumah sakit.


Swastamita



Cinta itu menguatkan satu sama lain. Tatapan matanya yang hangat kali ini yang menguatkanku untuk kesekian kalinya. Harapan sembuh itu ada, batinku. Tak hentinya kupanjatkan doa dan harapan pada Ilahi agar memberi kami kekuatan untuk melampaui ini semua.

“Prang!” piring yang kupegang meluncur dengan cepatnya terlepas dari tanganku. Gelap. Sunyi.

***

Suara berisik ini menggangguku, kupaksa mataku untuk membuka, tapi terasa berat. Kugerakkan tanganku, nihil, tak ada tenaga untuk menggerakkannya. Ada apa ini, mengapa seperti ini?, batinku. Ingin kupanggil belahan jiwaku, tapi tak ada suara yang keluar dari bibirku.


Baca juga : Pertolongan Allah Itu Nyata Dalam Cerita Merengkuh Maaf


Perlahan kubuka netraku, sedikit cahaya yang masuk sudah cukup menggambarkan aku berada dimana. Kutemukan beberapa selang menempel di tubuh lemahku. Bunyi berisik yang tadi kudengar ternyata berasal dari alat monitor yang memantau keadaan organ vitalku. Tak ada seorang pun yang bisa menjelaskan padaku tentang ini. Kemana semuanya?

Datanglah seorang paramedis mendekat. “Alhamdulillah kondisi ibu sudah lebih baik dibandingkan kemarin. Istirahat dulu ya Bu,” ujarnya.

“Suami saya mana?” tanyaku lirih dan cemas.

“Suami ibu menunggu di ruang tunggu, sepertinya ditemani putranya. Beliau meminta kami menginformasikan jika ibu sudah sadar. Setelah ini ada dokter yang akan memeriksa kondisi ibu, sebentar ya,” tutur paramedis tersebut dengan sabar.

Dokter paruh baya datang menghampiriku dan menyapa dengan ramah. Dia menjelaskan beberapa hal yang tak dapat kumengerti pada perawat yang mendampinginya.

“Kondisi ibu sudah lebih baik, tetapi kami masih perlu memantau beberapa hal lagi sebelum ibu dipindahkan ke ruang rawat inap. Ibu berkenan ya?” sebuah pertanyaan yang tanpa perlu jawaban pun dilontarkan dokter yang masih tampak cantik tersebut. Akupun hanya bisa mengangguk.

“Saya bisa bertemu suami saya, Dok?” tanyaku sebelum dia beranjak meninggalkanku.

“Bisa, Bu, sebentar lagi ibu bisa bertemu dengan suami ibu,” jawabnya.

Lelaki paruh baya itu mendekat dengan senyum yang selalu kurindukan. Dia mencium keningku untuk beberapa saat. Harum parfumnya yang khas menyeruak, rasanya lama kutak menghirup harumnya.

“Sudah enakan?” tanyanya.

“Sepertinya sudah lebih baik. Aku kenapa? Yang kuingat terakhir piring yang kupegang jatuh. Setelah itu entahlah, rasanya gelap,” jawabku.

“Abang sudah enakan?” tanyaku balik padanya.

“Sudah, tadi pagi sudah bisa makan dengan enak, kemonya tinggal beberapa kali kan, semoga sudah selesai setelah ini. Kata dokter juga hasilnya sudah bagus” jawabnya.

“Kemarin, untung Rahman pas datang menjemput, jadi dia yang mengurusmu saat Say hilang kesadaran,” lanjutnya.

“Sekarang dia di depan bersama istrinya. Tadi dia mau masuk tapi tidak diperbolehkan oleh perawat, katanya diminta bergantian denganku,” imbuhnya.

“Aku sakit apa? Kenapa aku di sini? Ini ICU kah?” tanyaku beruntun karena penasaran.

Bukannya menjawab, dia justru menghela napas dan terdiam sejenak, sepertinya ada kendala untuk menjelaskannya padaku.

“Say dirawat di HCU, besok dijadwalkan pemeriksaan jantung secara menyeluruh. Mungkin kecapekan merawat Abang ya?” jelas suamiku perlahan. Walaupun dia memberitahukan berita yang tak ingin ku dengar ini dengan hati-hati, tetap saja hal ini membuatku terkejut. Sukmaku berteriak seakan tak menerima kenyataan pahit ini.

Mengapa Aku harus dirawat di HCU, tidak mungkin Aku dirawat di sini jika tidak serius penyakitku. Berbagai pertanyaan bersahutan di kepalaku

Suamiku membersihkan bulir bening yang mengalir dari sudut netraku. Menangis, ya ku hanya bisa menangis. Aku tak tahu apa penyakitku, badanku lemas, untuk bernapas saja berat rasanya. Aku tahu suamiku berusaha menenangkanku. Namun tetap saja Aku belum bisa tenang.

Semuanya terasa berat, belum selesai pengobatan kanker suamiku, sekarang giliran aku yang sakit. Istighfar dan syahadat berulang kali kuucapkan dalam hati untuk membuatku tenang. Aku pasrah dan menyerahkan semuanya pada Ilahi.

Tiba-tiba alat yang memantau kondisi vitalku berbunyi, bahkan lebih keras dari sebelumnya. Perawat segera berdatangan dan meminta suamiku untuk keluar dari ruangan. Perawat dan dokter dengan sigap berusaha memacu jantungku. Namun, usaha mereka tak sesuai harapan.

Semua terasa ringan dan tenang. Kulihat suamiku mendekatiku, tubuh yang terbujur kaku itupun tak dapat bergerak lagi. “Kutunggu Kau di keabadian,” bisikku. Kupeluk tubuhnya dari belakang, walaupun dia tak merasakannya.

Read More

Surat Kaleng Untuk Hani

Kamis, 05 Januari 2023

surat kaleng


“Selamat ya Han, cerpenmu lolos nih, terbit di majalah Remaja. Wah, keren ya Han!” seru Olive.

"Bagus ceritanya Han, aku suka. Lain kali angkat ceritaku ya," pinta Arisa.

"Terima kasih ya, syukurlah kalau kalian suka," jawab Hani.

Arisa dan Olive tidak menangkap kegundahan hati Hani. Mereka bertiga pun menuju kantin sekolah.

"Serius Han, kamu yang traktir?" tanya Eva dengan wajah penuh tanya.Hani hanya mengangguk.

"Cerita pendek Hani muncul lagi di majalah Remaja, Va," sahut Arisa menjawab keraguan Eva. Eva yang baru saja datang hanya terdiam.

"Va, kok diem sih. Kamu enggak senang karya Hani tayang di majalah?" tanya Arisa, membuyarkan lamunan Eva.

"Ya tentu senang dong, apalagi ditraktir nih sekarang," jawab Eva sambil tersenyum lebar menutupi kegugupannya.

"Terima kasih ya, Han," lanjut Eva kemudian. Hani hanya mengangguk dan tersenyum.

Tak menunggu lama Eva segera memesan pangsit mie ayam dan es jeruk kegemarannya. Sekaligus memesankan untuk ketiga temannya. Pangsit mie ayam favorit mereka berempat kerap menjadi rujukan saat jam istirahat.

Mereka pun menikmati hidangan yang tersaji di hadapannya dengan lahap. Entah rasa lapar yang melanda atau karena mereka berempat sangat menyukai pangsit mie ayam, sehingga pangsit mie ayam itu pun tandas tak bersisa seperti mengikuti lomba makan.

Hani hanya tersenyum melihat teman-temannya yang bercanda setelah menghabiskan makanannya. Eva yang dari tadi memperhatikan Hani merasakan ada hal yang aneh terhadap sikap Hani.

"Ada apa Han? Kok melamun," tanya Eva membuyarkan lamunan Hani.

"Eh, enggak kok, Va," jawab Hani tergagap.

"Aku perhatikan dari tadi kamu banyak diam. Kami seru bercanda, paling kamu hanya tersenyum. Ada apa sih?" tanya Eva penasaran.

Arisa dan Olive pun menghentikan obrolan mereka dan memperhatikan pembicaraan Eva dan Hani.

"Ah, enggak kok, kita balik ke kelas aja, yuk" ajak Hani. Arisa, Olive dan Eva hanya saling berpandangan melihat tingkah Hani yang tidak seperti biasanya. Mereka pun kembali ke keas dan mengikuti pelajaran hingga jam pelajaran berakhir.

Angkutan umum berwarna putih itu pun melaju kencang mengantarkan murid-murid sekolah menengah di bilangan kota itu ke rumahnya masing-masing. Ada Hani yang duduk di pojok angkutan, pandangannya menyapu jalan yang dilewatinya. 

Ketiga temannya pergi ke mall dekat sekolah. Namun, Hani memilih untuk pulang dengan alasan sakit perut yang dikarangnya. Hani sedang merasa sedih karena amplop surat yang ditemukan di tasnya setelah dari kantin.

"Ma, aku pulang," tutur Hani setibanya di rumah.

"Iya sayang," sahut mamanya yang sedang merajut di ruang tengah.

Kecupan hangat Hani segera mendarat di pipi mamanya. Kebiasaan yang selalu dilakukannya begitu sampai di rumah setelah bepergian.Setelah membersihkan diri dan berganti baju, Hani segera bergabung bersama mamanya.

"Makan dulu, mama sudah siapkan ebi furai dan tumis rebung kesukaanmu," ujar mamanya.

"Iya Ma, masih kenyang tadi habis beli pangsit mie ayam sama teman-teman," jawab Hani.

"Ma, cerpenku lolos terbit di majalah Remaja," lanjut Hani.

"Wah, selamat ya sayang. Mama bangga sama Hani. Mamanya segera memeluk Hani.

"Hei kenapa murung?" tanya mamanya. Hani tidak menjawab pertanyaan mamanya, dia hanya menggelengkan kepalanya saja.

"Bukannya seharusnya Hani senang dengan prestasi yang telah Hani raih? Ini kok malah murung," tanya mamanya penuh selidik.

"Sedih aja sih Ma, tadi dapat surat yang enggak jelas lagi," jawab Hani.

Hani kerap mendapatkan surat yang tak bernama, entah siapa yang meletakkannya di dalam tasnya. Ada juga yang dikirimkan ke rumah. Surat tersebut berisi ancaman, sindiran dan ada juga cemoohan.

Keberadaan surat kaleng ini sudah mengganggu hingga Hani ketakutan. Entah siapa dalang dibalik ini semua. Tulisan tangannya tidak diketahui, ada juga yang berupa potongan kata dari majalah, ada juga yang diketik.

"Hani takut, Ma. Takut kalau tiba-tiba bertemu dengan pengirim surat itu," jawab Hani tertunduk.

Bulir bening mulai muncul di sudut matanya, perlahan turun membasahi pipinya. Mamanya segera meletakkan tas yang sedang dirajutnya dan menggeser duduknya mendekati putri semata wayangnya agar memudahkannya untuk memeluknya.

Isak tangis itupun semakin keras terdengar. Hani tidak dapat menahan tangisnya lagi, dipeluk mamanya kuat dan mengalirkan segala kegelisahan hatinya pada mamanya.

Hani merupakan salah satu siswi berprestasi di sekolahnya selain itu hobinya menulis kerap menjuarai lomba karya tulis dan mengisi rubrik majalah untuk remaja, salah satunya adalah majalah Remaja.

Prestasinya membuat Hani banyak dikenal oleh murid di sekolahnya. Namun, hal ini tidak membuat Hani menjadi sombong. Dia tetap menjadi pribadi yang rendah hati dan ramah. Hal ini juga yang menyebabkan beberapa teman lelaki berusaha mendekatinya.

Prestasi dan sikap Hani membuat seseorang terganggu, sehingga seseorang  yang misterius itu kerap mengirim surat kaleng. Hal ini juga diketahui teman-teman dekatnya. Surat kaleng ini juga kerap menjadi perbincangan mereka.

Awalnya surat kaleng tersebut berisi pujian. Kemudian bertahap berubah berisi cemoohan, tetapi beberapa surat terakhir berisi ancaman.

"Tidak ada yang salah sayang, kamu tidak merugikan siapapun. Jadi abaikan saja surat itu," jawab mamanya.

"Tadi kata teman-teman juga begitu sih Ma. Tapi surat yang terakhir ini menakutkan Ma. Dia mau bunuh Aku atau paling tidak melukaiku," ujar Hani.

"Sudah abaikan saja. Sekarang kalau pergi usahakan tidak berangkat sendiri ya," begitu pesannya.

***

Hari Minggu yang cerah, Hani dan teman-teman dekatnya membuat janji untuk bertemu di pusat perbelanjaan. Hani berencana membeli buku sebagai bahan tulisannya.

Hani menuruti permintaan mamanya agar tidak pergi sendiri. Arisa menjemputnya di rumah. Sedangkan Eva dan Olive berangkat masing-masing dan berjanji untuk bertemu di pusat perbelanjaan.

Ternyata Eva sudah sampai terlebih dulu, tak lama menunggu muncul Arisa dan Hani serta Olive yang datang hampir bersamaan. Mereka pun segera menuju toko buku sesuai kesepakatan sebelumnya.

Sesampainya di toko buku, mereka berempat menuju rak buku kegemaran masing-masing berburu buku kesukaannya. Eva dan Hani menuju rak buku yang sama, karena selera mereka berdua akan buku hampir sama.

Tanpa Hani sadari, saat dia asyik memilih buku. Seseorang memasukkan sebuah amplop ke dalam tas Hani. Kali ini surat itu berisi ancaman jika Hani mengikuti lomba lagi, maka Hani akan celaka.

Read More

Kakek dan Nenek Baroto (episode 3)

Selasa, 20 Desember 2022

 

kakek dan nenek Baroto

Epsiode sebelumnya

Nenek Baroto masih terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya tampak pucat.

"Zizi, Eda sini," panggil Nenek saat melihat kedua anak itu menuju kamar Nenek.

"Iya, Nek," jawab Zizi dan Eda hampir bersamaan. Mereka berdua memasuki kamar dan bersimpuh di dekat Nenek.

"Zizi dan Eda, kondisi Nenek sudah lebih baik. Namun masih pusing. Sepertinya Nenek tidak bisa membuat kue," tutur Nenek.

"Lalu bagaimana, Nek? Kasihan anak panti nanti," ujar Zizi.

"Iya, Nek. Mereka mungkin sangat berharap kita datang membawa kue," imbuh Eda.

Setiap hari Rabu, Nenek biasanya membawa kue untuk dibagi-bagi ke panti asuhan yang terletak di tengah kota. Selain itu Kakek dan Nenek Baroto merupakan donatur rutin panti asuhan tersebut.

Banyak anak yang tinggal di panti asuhan tersebut. Ada anak yang masih bayi ada juga yang sudah bersekolah. Kedatangan Kakek dan Nenek Baroto sangat dinanti mereka. Selain membawa kue, Kakek dan Nenek juga membacakan cerita dan bernyanyi bersama.

"Iya, Nenek paham kok. Kalian mau membantu Nenek?" tanya Nenek.

"Mau. Nenek ingin dibantu apa?" tanya Eda.

"Bahan kuenya sudah ada semua?" tanya Nenek Baroto.

"Ada Nek," jawab Zizi. Eda hanya mengangguk.

"Baiklah, ada resep di lemari dapur. Timbang bahannya sesuai takaran. lakukan prosesnya bertahap sesuai petunjuk ya," pesan Nenek.

"Tapi, Nek ... " ujar Zizi, kemudian terdiam tidak dapat melanjutkan kata-katanya.

"Zizi dan Eda, lakukan saja sesuai petunjuk, ya. Nenek yakin kalian bisa. Cara membuat kuenya mudah diikuti, kok," ujar Nenek berusaha meyakinkan Zizi dan Eda.

Zizi dan Eda saling berpandangan. Mereka berdua ragu apakah mereka bisa membuatnya. Dan akhirnya mereka mengangguk bersama, memenuhi permintaan Nenek.

"Sebelum memasukkannya ke dalam oven, tambahkan sedikit bubuk putih di atas adonan ya. Bubuk putihnya ada dalam kotak hijau di lemari dapur. Selamat berkarya anak-anak," lanjut Nenek.

"Bubuk putih, Nek?" tanya Eda sambil mengernyitkan dahi.

"Iya, bubuknya berwarna putih. Sudah taburkan saja nanti," jawab Nenek.

"O, iya saat membuatnya hati harus dalam keadaan senang gembira ya, tidak ada yang marah atau cemberut," pesan Nenek.

Zizi dan Eda pun segera ke dapur untuk membuat kue. Sedangkan Kakek Baroto, Arman dan Aldo membongkar kandang ayam yang rusak dan merapikan peralatan yang mereka gunakan untuk membuat kandang ayam tadi.

Buku catatan resep kue dan bahan sudah siap semua. Setelah mencuci tangan, Zizi dan Eda menimbang semua bahan yang diperlukan. Kemudian mereka mulai membuat kue sesuai tahapan yang ada di buku resep.

Teringat pesan Nenek untuk menaburkan bubuk putih sebelum memasukkan adonan ke dalam oven pun mereka lakukan.

"Sudah jadi kuenya?" tanya Arman yang memasuki dapur, hendak mencuci tangan.

"Belum, sebentar lagi matang," jawab Eda.

"Semoga berhasil ya Zi," lanjut Eda.

"Iya, baru kali ini membuat kue tanpa didampingi Nenek," sahut Zizi.

"Apakah Nenek masih kurang enak badan?" tanya Arman.

"Iya Nenek masih kurang enka badan," jawab Zizi.

"O, iya nanti jika kuenya sudah matang, Kakek akan mengantar Aku dan Aldo ke panti untuk memberikan kue ini. Kalian berdua ikut?" tanya Arman pada Zizi dan Eda.

"Enggak, ah. Kami menemani Nenek saja. Kasihan Nenek sendirian. Nanti setelah kalian pulang, kita pulang ke rumah ya," jawab Eda.

"Ting", bunyi yang berasal dari oven, menandakan bahwa proses oven telah selesai.

Zizi dan Eda segera melangkah menuju oven.

"Ya ... !" pekik Zi.

Arman yang sedang minum tersedak mendengarnya.

Ada apa dengan kue buatan Zizi dan Eda? Bagaimana kisah selanjutnya?

 

Episode berikutnya


Read More

Kakek dan Nenek Baroto (episode 2)

kakek dan nenek baroto


Kisah sebelumnya

 "Arman tolong lihat siapa yang mengetuk pintu," pinta Ibu.

Arman pun segera berdiri dan membuka pintu. Ternyata Aldo dan Zizi, teman Arman yang datang.

"Bu, Arman pamit dulu ya. Aldo dan Zizi sudah datang menjemput," pamit Arman pada ibunya yang sednag membersihkan meja makan.

"Permisi Tante," tutur Aldo dan Zizi bersamaan.

"O, iya. Hati-hati ya. Salam untuk Kakek dan Nenek Baroto ya," tutur Ibu.

"Apa yang kalian bawa itu? Sepertinya berat," tanya Ibu ketika melihat Zizi dan Aldo menenteng kantong plastik putih.

"Ini bahan untuk membuat kue, Tante. Kemarin Nenek meminta kami berbelanja. Rencananya hari ini kami akan emmbantu Nenek membuat kue," jawab Zizi.

Ibu manggut-manggut mendengar penjelasan Zizi.

"Eda, enggak ikut?" tanya ibu lagi.

"Eda nanti menyusul Tante, dia masih membantu ibunya," jawab Zizi lagi.

"O, begitu. Ya sudah kalau mau berangkat. Nanti ditunggu Kakek dan Nenek Baroto. Nanti pulangnya jangan terlalu sore, ya," pinta Ibu.

"Iya, Bu. Kami berangkat ya," pamit Arman lagi.

Mereka bertiga berjalan kaki menuju rumah Kakek dan Nenek. Rumah kakek hanya berjarak sekitar satu kilometer. Selama perjalanan mereka membicarakan tentang serunya mencari kambing yang hilang.

"Kakek!" pekik Arman menyapa Kakek yang sedang menyiapkan peralatan untuk memperbaiki kandang ayam yang setengah jadi.

"Yuk, sini," pqnggil Kakek tersenyum veria menyambut kedatangan kami.

Ketiga anak itupun berjalan mendekati Kakek.

"Itu belanja bahan membuat kue ya?" tanya Kakek.

"Iya, Kek. Sudah terkumpul semua, tinggal memasak saja," jawab Zizi.

"Nenek sepertinya sedang tidak enak badan, tadi kakek meminta nenek untuk istirahat dulu. Semoga setelah istirahat sebentar. Nenek, segera membaik," tutur Kakek.

"Duduk sini dulu, Zi. Eda mana?" tanya Kakek.

"Eda menyusul, Kek. Sebentar lagi datang," jawab Zizi.

"Kek, kami letakkan ini di dapur dulu ya," pamit Aldo.

Kakek hanya mengangguk. Aldo dan Zizi segera melangkahkan kakinya menuju dapur. Saat melewati kamar Nenek yang terbuka. Zizi mengentikan langkahnya, mencari sosok Nenek.

Tampak Nenek yang sedang berbaring dan terlelap. Melihat hal tersebut, Zizi mengentikan langkahnya. Zizi meletakkan jari tangan di mulut, seolah memberi tahu Aldo agar tidak menggangu Nenek. 

Mereka berdua bergabung kembali bersama Kakek dan Arman yang sedang membuat kandang ayam. 

"Hai, Eda," sapa Arman yang melihat kedatangan Eda.

"Hai, Arman, Kakek, Zizi, Aldo," sapa Eda.

"Sudah selesai, Da?" tanya Zizi.

"Sudah, kok. Zizi kok di sini? Enggak jadi buat kue?" tanya Eda.

"Nenek kurang enak badan, Da. Biar istirahat dulu," sahut Arman.

Eda hanya menganggukan kepala mendengar informasi Arman dan ikut duduk di dekat Zizi.

"Kek, kemarin kok bisa sih kambingnya ketemu setelah kakek bermain seruling?" tanya Eda penasaran.

"Lo, Eda enggak tahu, tentang seruling Kakek yang ajaib?" tanya Zizi keheranan.

Eda yang tampak bingung hanya menggelengkan kepala.

"Seruling Kakek ajaib itu hanya berfungsi jika pemiliknya orang baik," lanjut Aldo.

"Kambingnya kemarin berontak setelah mendengar suara seruling Kakek. Pencurinya tidak bisa membawa kambingnya pergi jauh. Hingga akhirnya kita menemukan mereka," sahut Arman.

"Ooooo, begitu," ujar Eda sambil mengangguk-anggukan kepala.

Tak lama, kandang ayamnya sudah selesai dibuat. Kakek dibantu Arman dan kawan-kawan memindahkan ayam yang ada di kandang lama. Ada lima ekor ayam yang sedang mengerami telurnya.

Hari sudah beranjak siang, tampaknya Nenek belum terbangun dari tidurnya.

"Kita lihat kondisi Nenek, yuk Da," ajak Zizi pada Eda.

Bagaimana ya kondisi Nenek? Apakah sudah lebih baik? Bagaimana kisah selanjutnya?

Episode berikutnya

Read More

Pacar Virtual Jose

Rabu, 14 Desember 2022

pacar virtual jose


“Bro, serius amat sih dari tadi,” tegur Herdi pada sahabatnya Jose.

“Ah, kamu ngagetin aja. Apa sih?” jawab Jose ketus. Dia hanya menatap Herdi sekilas dan kembali asyik dengan gawainya, tidak memperhatikan Herdi.

“Hmm … mulai deh kumat, kalau sudah gini, lupa sama temennya,” sungut Herdi yang telah duduk di sebelah Jose yang sengaja memilih duduk di sudut kantin. Tempat favorit Jose karena dari situ dia dapat mengamati sekitar.

“Pasti, lagi asyik main sama game virtual itu to?” tanya Herdi yang sedari tadi kedatangannya tidak digubris Jose.

“Iya, bentar ya, nanggung nih,” celetuk Jose sekenanya.

Herdi pun membiarkan Jose kembali tenggelam dalam permainannya dan menikmati segelas cappucino yang ada di hadapannya.

Entah bagaimana awal mulanya Jose asyik bermain dengan game barunya. Sebuah game aplikasi kencan. Sekilas diliriknya game yang sedang dimainkan Jose.

“Cewek itu mirip Kiran, ya?” celetuk Herdi.

“He eh … cantik kan, Her?” jawab Jose yang tidak menyadari jika Herdi mengintip game  yang sedang dimainkannya.

Bukannya menjawab, Herdi hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Jose. “Aku pergi aja deh, Jos, Kamu lagi asyik gitu sama pacar virtualmu,” sungut Herdi.

“Eh, sorry Bro, barusan ngehang nih game-nya. Aku peluk Cintya dulu,” jawab Jose.

Hadeh, apa asyiknya sih game aneh gitu, mending meluk cewek beneran, deh,” sahut Herdi yang tidak paham kelakuan sahabatnya itu.

“Enggak ada yang mau Aku peluk sih, Bro,” jawab Jose sekenanya sambil nyengir kuda dan meletakkan gawainya.

“Ada aja asal Kamu mau lebih peka aja sama sekitar. Buruan nembak Kiran, daripada hanya terobsesi aja. Sebelum diambil cowok lain. Beraninya kok cuma virtual aja, pacaran sama Cintya yang enggak jelas gitu,” cerocos Herdi. Sudah kesekian kalinya Herdi mengingatkan Jose yang semakin tenggelam dengan game aplikasi kencan tersebut.

Kantin yang terletak di bagian belakang sekolah, tempat mereka duduk saat ini hanya berisi beberapa orang. Sebagian besar siswa sudah pulang sekolah, hanya tersisa beberapa orang saja, termasuk Jose dan Herdi.

Sekelompok gadis melangkah masuk ke kantin, menghentikan pembicaraan mereka. Tampak seorang gadis tersenyum dengan manis ke arah mereka berdua. Herdi pun melambaikan tangan dan tersenyum membalasnya.

“Vina tuh! Balas senyum napa?” ujar Herdi pada Jose yang tidak memperhatikan sekelompok gadis tersebut. Jose hanya senyum sekenanya.

“Mending pacaran sama Vina aja. Bisa dilihat dan dipegang, nyata bukan imajinasi. Kamu enggak asik deh, Bro,” seloroh Herdi yang kemudian berjalan mendekati Vina dan meninggalkan Herdi sendirian dengan mie ayamnya yang telah dingin karena asyik bermain game aplikasi kencan.

Jose tidak menanggapi ucapan Herdi, dia hanya menghabiskan mie ayam yang ada di di mejanya sedari tadi.

Vina adalah anak kelas X, adik kelas mereka berdua. Sejak lama Herdi mendekatinya, tetapi dia belum berani menyatakan cintanya pada Vina. Sepertinya kali ini dia membulatkan tekad untuk meminang Vina, daripada seperti Jose yang punya pacar tapi enggak nyata.

Vina memisahkan diri dari teman-temannya dan berjalan bersama Herdi, sedangkan teman-teman Vina sepertinya pulang atau pergi entah kemana, yang pasti situasi kantin semakin lengang.

Hari semakin senja, situasi sekolah juga sudah sepi. Anak-anak yang biasa melakukan kegiatan ekstra atau kerja kelompok tampaknya juga sudah pulang. Ibu kantin membersihkan kantin dan bersiap untuk menutup kantinnya.

Pulang aja ah, sebelum diusir ibu kantin, pikir Jose. Dia berjalan menyusuri selasar dan berakhir di parkiran motor. Pandangannya berhenti pada sosok gadis manis berambut sebahu yang sedang duduk di bawah pohon beringin dekat pintu gerbang sekolah.

Seperti Kiran, batin Jose. Netranya beredar ke sekitar memastikan tidak ada siapa-siapa lagi selain dirinya dan Kiran. Hatinya berdebar cukup kencang, antara ingin mengajak ngobrol Kiran atau pura-pura tidak melihatnya.

Jose merasa seperti punguk merindukan bulan, secara Kiran primadona di sekolah. Banyak siswa di sekolahnya yang berusaha mendekatinya, tetapi belum ada yang berhasil, karena kabarnya Kiran sombong.

Padahal secara fisik Jose juga tidak buruk rupa, kok. Badannya atletis, maklumlah dia atlet petanque, olahraga yang berasal dari Perancis. Wajahnya juga manis.

“Sendirian aja Kiran, menunggu siapa?” sapa Jose pada gadis manis itu.

“Eh iya Kak Jose, tadi janjian sama Mama mau sekalian pergi, tapi enggak jadi,” jawab gadis itu kikuk dan menunduk.

Ini sih bukan sombong, kalau sombong, kan dia enggak mau jawab sapaku, pikir Jose. Dia pun sudah dapat mengendalikan hatinya yang dari tadi berdebar kencang.

“Boleh Aku antar pulang?” tanya Jose tanpa basa-basi. 

“Apakah tidak merepotkan? Em … Tapi ini baru mau pesan ojek kok, enggak apa-apa, Kak. Aku bisa pulang sendiri, kok,” jawab Kiran.

“Aku siap mengantar putri cantik ke mana aja, tapi pakai motor ini, mau?” Jose mengulangi ajakannya lagi.

Kiran pun mengangguk malu-malu, pipinya bersemu merah. Tampak dengan jelas rona merah di pipinya yang putih itu.

pacar virtual

Rasa hangat mengalir di dada Jose. Hatinya bersorak riang bisa bisa mengantar Kiran pulang. Entah apa yang terjadi selanjutnya. Baginya yang terpenting saat ini dapat mengantar Kiran dan bisa berbincang dengannya selama perjalanan. Terlepas apakah nanti Kiran menerima cintanya atau tidak. Terlalu dini untuk menyatakan cinta pada Kiran saat ini.

Benar kata Herdi, rasa yang hadir beda jika aku berbicara dengan gadis yang nyata dibandingkan Cintya yang hanya virtual saja, batin Jose.

Read More

Suami yang Tidak Bertanggung Jawab Dalam Cerita Lelakiku

Sabtu, 26 November 2022

Suami yang Tidak Bertanggung Jawab Dalam Cerita Lelakiku


Pertemuan dengan mbak Aulia saat kopdar IIDN di Surabaya beberapa waktu lalu, membuat saya tertarik untuk menerima ajakannya untuk membuat antologi berdasarkan kisah nyata. Tema antologi tersebut adalah tentang penghianatan yang dilakukan oleh orang terdekat.

Entah orang terdekat tersebut pasangan, teman atau saudara. Intinya lingkup terdekat dengan kita. Rasa penasaran ingin menantang diri menulis cerita pendek versi dewasa, membuat saya mengambil kesempatan tersebut.

Selama ini hanya menulis cerita anak dan artikel umum atau artikel parenting saja. Ingin tahu rasanya tantangan menulis cerita pendek untuk orang dewasa. 

Sedangkan untuk ceritanya saya menggunakan pengalaman seseorang, tentu saja saya meminta izin beliaunya terlebih dahulu. Setelah mendapat izin barulah saya mencoba menulis. Akhirnya saya membuat cerita dengan judul Lelakiku, cerita tentang suami yang tidak bertanggung jawab.


Suami yang Tidak Bertanggung Jawab Dalam Cerita Lelakiku

Judul bukunya adalah Unboxing Soulmate. Sebetulnya antologi bersama mbak Aulia dalam Unboxing Soulmate kali ini adalah yang pertama kali saya lakukan sebelum antologi Di Batas Logika. 

Namun, saya baru menuliskannya di blog setelah cerita Merengkuh Maaf dalam antologi Di Batas LogikaTidak perlu panjang lebar lagi ya, berikut cerita yang saya dlam antologi Unboxing Soulmate, dengan judul Lelakiku


Di keheningan malam lelah menyapanya. Ditemani secangkir teh hangat yang masih mengeluarkan asapnya, Leni duduk di sudut ruangan. Sinar lampu yang temaram seolah menunjukkan bahwa penghuni rumah telah terlelap berselimut dinginnya malam.

Manik hitam itu tertuju pada sosok lelaki yang beranjak dewasa, yang terlelap di kursi panjang tak jauh dari tempatnya duduk. Lelaki itu masih mengenakan baju olahraga bertuliskan nama tim basket dengan nomor di bagian punggungnya. “Fajar terlalu lelah mungkin, biarlah dia beristirahat dulu,” gumamnya dalam hati.

Perlahan Leni melangkah mendekati anak lelaki satu-satunya itu. Dipungutnya tas dan perlengkapan yang tadi dibawa Fajar saat sekolah dan berlatih basket. Dibelainya rambut ikal itu dan diguncangnya tubuh kekar Fajar, “Fajar, mandi dulu , bersihkan diri nak. Mama sudah siapkan makan malam kesukaanmu,” tutur Leni kemudian.

“Capek sekali ya Mas?” tanya Leni pada putra semata wayangnya memecah keheningan malam.

“Iya Bu, lumayan lha ini tadi, lawannya jago-jago,” jawab Fajar sambil mengunyah makan malamnya. Makan malam yang cukup larut.

Leni hanya memandangi putranya sambil tersenyum, “Bahagiaku sederhana, melihatmu makan dengan lahap, melihatmu bahagia, aku pun bahagia,” gumam Leni dalam hati.

Rambut ikal dan badan tegap itu mengingatkan Leni pada sosok yang telah lama tidak ditemuinya. Entahlah mengapa tiba-tiba sosok itu muncul dalam ingatan yang telah lama ingin dikuburnya. Sosok yang tak pernah muncul sejak beberapa tahun yang lalu. “Apa Dia tidak merindukan Fajar, darah dagingnya sendiri?”tanya Leni dalam hati.

“Mama kenapa melamun? Ingat Papa ya? Sudahlah Ma, lupakan saja. Papa juga tidak pernah menengok kita,” ujar Fajar memecah keheningan.

“Kok Mas begitu menuduhnya?” ujar Leni berusaha mengelak.

“Mas enggak kangen sama Papa?” tanya Leni penasaran.

“Aku lihat dari tadi Mama melamun, biasanya Mama ingat Papa kalau seperti itu. Aku enggak kangen Papa sih,” ujar Fajar berusaha mengelak dari sorot mata Leni.

“Hmm sedikit sih, tapi kalau ingat apa yang dilakukan Papa ke kita, jadi enggak kangen lagi,” ujar Fajar kemudian mengklarifikasi.

“Ya sudahlah, sudah malam Mas, istirahat dulu, lanjutkan tidurnya lagi. Besok kita akan pergi ke Kediri, mengantar Akung dan Uti,” ujar Leni mengakhiri pembicaraan yang sepertinya tak berkesudahan.

Tanpa banyak berkomentar Fajar membereskan peralatan makannya dan beranjak ke kamarnya.


****


“Sayang, ini untuk kamu,” ujar Pras dengan senyum manisnya sambil menyodorkan sebatang cokelat favorit Leni.

“Waaa, terima kasih ya Mas, kok tahu sih kalau Aku suka ini?” tanya Leni dengan senyum yang ceria dan mata berbinar pada Pras.

“Ya tahu lah, Mas kan tahu isi hati Leni saying,” ujar Pras sejurus kemudian. Pras tahu bagaimana cara meluluhkan hati Leni.

Sosok lelaki tinggi tegap, berambut ikal legam dengan mata yang bulat dan sedikit kumis yang terpasang di bagian atas bibirnya pasti akan membuat wanita terkesima. Itulah Pras, pria yang mampu memikat hati Leni, seorang wanita sederhana berkerudung yang ramah namun pemalu. Pras selalu bersikap manis baik pada Leni maupun pada orang tua Leni.

Kedatangan Pras selalu dinanti di akhir minggu, maklum pengusaha muda yang selalu tampil dengan gaya metroseksual itu sibuk dengan bisnisnya. Tak lama setelah masa perkenalan, Pras meminang Leni, tentu saja niat baik itu disambut dengan baik oleh keluarga Leni. Restu kedua orang tua Leni pun mereka dapatkan.

Pernikahan pun berlangsung dengan sederhana, atas permintaan kedua belah pihak. Namun hal itu tak mengurangi kegembiraan Leni dan Pras. Leni dengan kebaya brokat putihnya tampak anggun. Sedangkan Pras mengenakan baju koko, jas berwarna hitam dan peci hitam, tampak gagah dan tampan.


***


“Sayang, Aku pergi dulu ya. Rencananya dua hari ini mau survey dengan pak Bowo. Kamu masih ingat Pak Bowo kan?” tanya Pras malam itu.

“Besok pagi Aku harus berangkat. Sayang enggak apa-apa kan sendiri di rumah?” selidik Pras.

“Iya enggak apa-apa, nanti kalau jenuh sendirian, boleh kan Aku pulang ke rumah ibu?” ijin Leni, untuk menghindari prasangka buruk, Lnei selalu minta ijin suaminya jika hendak keluar rumah.

“Iya enggak apa-apa,” jawab Pras pendek. Sepeninggal Pras dinas ke luar kota, Leni pun asyik berberes kamar kostnya yang baru ditinggali satu bulan ini.

Dua hari telah berlalu, namun Pras tak kunjung pulang. “Sayang, Aku belum bisa pulang ya, urusannya belum selesai nih,” ujar Pras dari seberang. Ahh akhirnya Pras menghubungi Leni, setelah satu bulan ini menghilang tanpa kabar. Ponsel Pras pun tak dapat dihubungi.

“Mas, baik-baik aja?” Tanya Leni cemas.

“Iya baik-baik aja. Sayang enggak perlu khawatir. Aku baik-baik aja kok di sini,” jawab Pras berusaha menenangkan Leni istrinya. Leni pun menceritakan kegiatannya selama ini.

Sebelum pembicaraan di ponsel itu berakhir, Leni memberanikan diri untuk bertanya, “Mas, uang belanja habis. Mas kapan pulang? Mas sudah lama enggak pulang.”

“Mas juga sedang kesulitan dana di sini. Sudah dulu ya Sayang. Assalammu’alaikum,” jawab Pras tanpa memberikan Leni kesempatan untuk berbicara.

“Ada apa ya dengan Mas? Sebelumnya Dia tidak pernah seperti ini,” tanya Leni dalam hati, tanpa tahu siapa yang akan menjawab kegundahan itu.


***


“Sayang, ada dana enggak? Aku perlu tambahan dana nih untuk mengembangkan usahaku,” tanya Pras saat mereka berdua menikmati makan malam. Makan malam yang cukup mewah bagi Leni, yang selama ini sering ditemani mie instan. Selain karena uang belanja yang diberikan tidak cukup dan jarang, Pras pun sering meninggalkan Leni sendirian di rumah kostnya. Padahal Leni dalam kondisi hamil anak pertama mereka, yang seharusnya ditunjang dengan makanan bergizi demi janin yang sedang tumbuh dalam rahimnya.

“Hasil penjualan sepeda motor sebelumnya, sudah habis kah Mas?” selidik Leni hati-hati.

“Itu kan untuk proyek yang sebelumnya, ini lain lagi. Minggu depan Aku berangkat lagi ya. Ada peluang lagi, semoga kali ini berjodoh,” ujar Pras tanpa mempedulikan kebingungan Leni.

“Aku kan mau melahirkan Mas akhir bulan ini, Mas pergi berapa lama?” tanya Leni dengan wajah mengiba. Walaupun sakit hati dengan sikap Pras selama ini, Leni juga ingin ditunggu suaminya saat melahirkan nanti.

“Aku enggak lama kok perginya, paling hanya seminggu. Jadi nanti masih bisa menemanimu saat melahirkan,” ujar Pras yang berusaha meyakinkan Leni.

Entahlah rasa ragu itu pun tetap muncul di hati Leni, mengingat Pras yang selama ini jarang pulang. “Ya sudahlah terserah,” gumam Leni dalam hati.

“Semoga Dia berubah setelah bayi ini lahir nanti, mungkin Dia akan insyaf dan sadar akan kewajibannya,” gumam Leni sambil mengelus lembut perutnya yang cukup besar.


***


Bayi mungil yang didambakan Leni itu pun lahir. Rambut yang ikal, berkulit bersih, pipi yang gembul, badan yang tegap, membuat orang yang memandangnya ingin menggendong dan memeluknya. Bayi itu diberi nama Fajar, nama yang diberikan orang tua Leni untuk cucu pertamanya. Dan seperti dugaan Leni sebelumnya Pras baru hadir setelah sepuluh hari kelahiran Fajar, Pras tidak menemani Leni saat berjuang melawan maut.

Kondisi keuangan keluarga dan sikap Pras yang seolah tidak peduli dengan Leni dan putra mereka Fajar, membuat Leni akhirnya memutuskan untuk bekerja. Pras semakin jarang pulang dengan alasan bisnis, namun tidak ada hasil yang dibawa pulang, bahkan harta benda mereka pun sudah habis untuk modal usaha Pras.

“Leni, ada surat dari kepolisian untuk Pras,” ujar Pak Arta, ayah Leni, saat Leni memasuki pintu rumah setelah pulang dari kantornya.

“Ada di meja tamu,” ujarnya kemudian.

“Polisi? Ada apa Yah?” tanya Leni penuh selidik.

Bagai disambar petir, dengan wajah memerah dan penuh tanya Leni membuka amplop cokelat itu. Leni terduduk lemas setelah membaca isi surat itu. “Ada apa Len?” tanya Ayah Leni.

“Pras dipanggil dengan tuduhan penipuan Yah,” tangis itu pun sudah tak terbendung lagi, Leni menangis di bahu ayahnya. Ayah :eni pun hanya terdiam, beliau tidak menyangka bahwa menantunya sudah melakukan penipuan.

“Ayah, seandainya Leni mengajukan cerai bagaimana?” tanya Leni meminta pertimbangan ayahnya.

“Leni sudah tidak tahan Ayah, Pras sungguh keterlaluan. Dia tidak pernah memberi nafkah, bertindak kasar pada Leni dan Fajar. Sekarang berurusan dengan Polisi pula.” Tangis Leni pun semakin keras.

“Akhir-akhir ini pun terror dari orang-orang yang Leni tidak kenal pun untuk menagih hutang semakin sering. Fajar sampai ketakutan. Ayah tahu kan?” ujar Leni meminta persetujuan ayahnya.

“Ayah tahu nak,” ujar Ayah Leni sambil memeluk Leni.

Ibu Leni pun menangis sesenggukan, bulir air mata pun mengalir dari sudut mata wanita tua itu. “Mungkin ini yang terbaik buatmu Nak? Daripada kamu menderita dengan Pras,” ujar bu Arta sambil memeluk Leni.

---

Penutup

Demikian cerita yang saya tulis berdasarkan kisah nyata. Perihal nama dan lokasi semuanya juga hasil imajinasi saya. Tidak ada kesamaan tokoh dan lokasi.

Hikmah cerita di atas adalah seseorang yang tampaknya baik belum tentu baik. Sebuah pernikahan adalah hal yang sakral dan hendaknya dijaga oleh kedua belah pihak. Seorang suami bertanggungjawab terhadap istri dan anaknya.

Sobat Dy, tolong kritik dan saran tentang teknik penulisan carita saya ya di kolom komentar. Ditunggu ya kritik dan sarannya.

Read More

Muslimah Swimming Squad, Belajar Renang Untuk Pemula

Selasa, 18 Oktober 2022

belajar renang untuk pemula


Muslimah Swimming Squad (MSS) merupakan media belajar renang untuk pemula khusus muslimah. Selain itu tidak ada biaya apapun yang dibebankan pada peserta. Peserta hanya membayar tiket masuk kolam renang dan infak terbaik. Infak yang terkumpul sepenuhnya digunakan untuk kegiatan sosial.

Pendiri komunitas ini adalah Euis Kurniawati, wanita dengan segudang prestasi. Wanita dengan tiga putra putri home schooler ini juga founder Azanaya School.


Belajar Renang Untuk Pemula

Muslimah Swimming Squad digagas oleh Euis Kurniawati di tahun 27 Desember 2019. Program belajar renang gratis ini dikhususkan untuk muslimah. Bagaimana dengan biaya pelatihnya? Cukup dibayar dengan doa terbaik peserta yang belajar renang.

Insyaallah peserta yang ikut belajar renang akan bisa menguasai renang gaya dada dan uitemate. Gaya dada dipilih mbak Euis untuk diajarjkan karena gaya dada mudah dipelajari oleh pemula. Sedangkan uitimate adalah teknik mengapung di atas air dalam kondisi darurat.

Ternyata minat muslimah untuk belajar berenang cukup banyak. Untuk menjawab kebutuhan tersebut, maka mbak Eusi mengadakan Training for Trainer dengan kata lain beliau mengadakan pelatihan untuk pelatih renang. Berapa biaya yang dibutuhkan? Sekali lagi gratis, peserta hanya dibebankan biaya akomodasi selama pelatihan.


Kontes Menulis Muslimah Swimming Squad

Saat 2020, komunitas Muslimah Swimming Squad mengadakan kontes menulis dan sayapun mencoba untuk mengikuti kontes tersebut. Saya hanya menceritakan pengalaman saya selama mengikuti program MSS yang baru saya ikuti satu kali.

Berikut tulisan yang saya ikutkan dalam kontes menulis tersebut Belajar Renang Untuk Pemula, selamat membaca

Dalam beberapa riwayat hadits, Rasulullah SAW sempat menyebutkan tiga olahraga yang dianjurkan dan menjadi kegemaran Beliau, di antaranya berlatih memanah, berkuda, dan berenang. Itulah salah satu alasan saya untuk berlatih renang. Selain itu, berenang memiliki banyak sekali manfaat bagi kesehatan, yaitu menjaga pernapasan dan menyehatkan jantung.

Saya sudah lama tidak berenang, banyak teknik yang sudah terlupakan. Di saat yang bersamaan sulung saya ingin belajar berenang. Untuk memfasilitasi keinginan ananda, saya berusaha mencari pelatih renang yang sesuai.

Gayung bersambut, di saat seperti itulah saya membaca status mbak Euis, founder Muslimah Swimming Squad (MSS). Dalam status tersebut disebutkan bisa belajar renang sesuai area yang ada.

Pilihan jatuh di area Sidoarjo kota, karena saya tinggal di Sidoarjo. Cukup lama menunggu jadwal berlatih karena saya hanya bisa melakukannya di hari Ahad. Selama proses menunggu, seorang teman menginformasikan bahwa area Waru sering mengadakan latihan di hari Ahad. Tidak perlu menunggu lama, langsung saya menghubungi mbak Septi yang cantik, coach area Waru.

Alhamdulillah rejeki nggak akan kemana, tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan jadwal berlatih. Hari yang dinanti itu pun tiba. Saya datang bersama duo krucil saya. Lokasi renang di kolam renang Dian Regency yang tidak terlalu ramai di pagi hari, sehingga saya masih bisa mengawasi anak-anak sambil berlatih renang. Anak-anak asyik bermain di kolam anak-anak yang letaknya bersebelahan dengan kolam renang orang dewasa.

Latihan dimulai dengan pemanasan agar nantinya tidak kram saat berenang. Banyak juga loh peserta yang baru mulai belajar berenang. Peserta dibagi dalam dua kelompok, saya bergabung dalam kelompok mbak Septi. Sedangkan kelompok yang lain bersama Bu Ummi. Saya memperoleh pinjaman kacamata renang dari Bu Ummi, karena kacamata renang saya kurang memadai.

Pelatih saya ini telaten loh, cantik pula. Satu persatu peserta dibimbing. O iya di MSS ini hanya diajarkan renang gaya dada dan uitemate. Mengapa hanya dua hal tersebut yang diajarkan? Karena gaya dada mudah dipelajari. Dan uitemate diperlukan saat terjadi bencana di laut. Uitemate adalah teknik mengapung di atas air dalam kondisi darurat. Bertahan hidup di tengah laut tidaklah mudah, apalagi jika tidak dapat berenang.

Uitemate diperkenalkan oleh Saito Hidetoshi, salah satu Profesor Universitas Teknologi Nagaoka Jepang. Uitemate berasal dari 2 kata dalam Bahasa Jepang, yaitu; ‘Uite,’ yang berarti mengambang atau mengapung, dan ‘Mate,’ yang berarti menunggu. Jadi secara harfiah Uitemate berarti mengapung dan menunggu.

Pertama kali kami diajak berkenalan dulu dengan air. Kepala dimasukkan ke dalam air, menatap lantai kolam. Dari teknik ini perlahan tubuh bagian bawah akan naik. Setelah berkenalan dengan air, maka mulai berlatih dengan partner. Posisi berhadapan, salah satu peserta memegang kedua tangan peserta di hadapannya, kemudian peserta memasukkan kepalanya ke dalam air, sehingga peserta tersebut dapat mengapung.

Tahap selanjutnya mulai berlatih gerakan kaki. Badan dengan posisi tengkurap, kemudian kaki ditekuk ke samping kanan kiri. Selanjutnya dihentakkan ke belakang. Hentakan dilakukan dengan cepat, fungsinya untuk mendorong perenang maju ke depan.

Selanjutnya berlatih gerakan tangan. Kedua tangan tertangkup ke depan seperti gerakan menusuk, saat ini dilakukan dengan cepat untuk memecah air sehingga perenang dapat dengan mudah bergerak maju. Selanjutnya tangan membuka dan menangkup lagi. Saat tangan membuka, itulah waktunya kepala mendongak ke atas agar dapat bernafas.

Setiap gerakan dilatih bertahap oleh mbak Septi. Ada peserta yang takut air pun akhirnya menjadi tidak takut air. Beliau mengingatkan kembali bahwa tujuan belajar di MSS adalah untuk menghidupkan sunnah Rasul, sehat dan bisa berenang adalah bonusnya. Harapannya peserta tidak takut atau trauma untuk berenang.

Tahapan yang terakhir adalah berlatih uitemate. Peserta hanya diminta untuk telungkup, tangan berpegangan satu sama lain membentuk lingkaran. Durasinya tergantung kekuatan peserta untuk menahan napas. Tahap selanjutnya hampir sama, peserta diminta untuk telentang. Tangan dibentangkan, wajah menghadap atas menatap langit. Tentu saja mata terpejam agar tidak silau dengan teriknya matahari.

Saya suka dengan metode yang diajarkan, cara mengajar. Semoga apa yang telah dilakukan para pengajar di MSS menjadi jariyah da dibalas oleh Allah dengan sebaik-baiknya balasan.

Namun dengan adanya pandemi ini sudah lama tidak berlatih, khawatir lupa. Semoga pandemi ini segera berakhir sehingga semuanya kembali normal atau membentuk kenormalan yang baru.

muslimah swimming squad

sumber foto : https://www.facebook.com/muslimahswimmingsquad


Juara Dua

Sungguh di luar dugaan, hasil coretan saya menjadi juara dua dan saya mendapatkan hadiah satu set baju renang warna merah hitam. Baju renang impian saya, karena harganya lumayan di kantong, menurut saya.

Untuk selanjutnya pihak panitia membukukan hasil karya pemenang dan hasil penjualannya murni digunakan untuk kegiatan sosial. 


Penutup

Terima kasih MSS yang telah memberikan saya ruang untuk berkarya. Selain itu menjadi media belajar renang untuk pemula seperti saya. Semoga semakin luas dampak yang ditimbulkan dari kegiatan mengajarkan renang. Menghidupkan sunnah dan juga sehat.

Read More

Pertolongan Allah Itu Nyata Dalam Cerita Merengkuh Maaf

Senin, 17 Oktober 2022

pertologan allah itu nyata


Sebuah post di Instagram dari seorang teman, mbak Aulia menarik perhatian saya. Pos itu berisi ajakan untuk menulis sebuah kisah nyata dan pertolongan Allah itu nyata adanya. Menarik pikir saya saat itu, saya ada sebuah kisah, semoga kisah itu juga dapat menginspirasi pembaca.

Tak menunggu lama, saya mengirimkan pesan pada mbak Aulia, menyampaikan bahwa saya berminat untuk bergabung pada proyek beliau. Sebetulnya hal ini bukan pertama kalinya saya bergabung dengan proyek menulis kisah nyata bersama beliau.

Proyek pertama adalah Unboxing Soulmate. Kisah tentang perlakuan tidak baik pasangan, sahabat atau saudara. Intinya adalah tindakan tidak baik orang yang dekat dengan penulis atau kisah nyata pengalaman orang lain yang dituliskan penulis.


Di Balik Layar

Untuk memudahkan koordinasi antar penulis, maka mbak Aulia membentuk sebuah grup WhatsApp. Beliau memberikan arahan dan panduan di sana.

Mbak Aulia juga memberikan sesi konsultasi terhadap naskah yang disusun. Hal ini sangat membantu, lo, tak terkecuali bagi saya. Saya memanfaatkan sesi konsultasi untuk mendiskusikan bagaimana saya menuangkan sebuah kisah ke dalam tulisan.

Setelah konsultasi, saya coba untuk menyusun ceritanya, yang merupakan cerita orang lain. Hal yang ingin saya tonjolkan adalah sesi tokoh Aku yang seolah-olah dia berbicara langsung dengan Allah. Dia benar-benar pasrah atas keputusanNya.

Beberapa masukan juga diberikan mbak Aulia, sehingga naskah saya yang biasa bisa menjadi nyaman untuk dibaca. Saya pun menjadi terenyuh saat membacanya kembali. Simak yuk kisah yang saya tulis dan diedit mbak Aulia.

Mbak Aulia juga memberikan kutipan-kutipan sesuai kisah yang ditulis oleh para penulis di setiap awal ceritanya. Simak resensi buku Di Batas Logika setelah ini ya.


Pertolongan Allah Itu Nyata Dalam Merengkuh Maaf

Berikut kisah yang saya tulis setelah mendapat arahan dari mbak Aulia. Cerita tersebut saya beri judul Merengkuh Maaf. Sebuah kisah nyata dari seorang sahabat yang mempunyai pengalaman mengalami konflik dengan ibi mertua.

Aku tak bisa menahan air mata yang mengalir deras setelah menunaikan ibadah salat Isya. Leher terasa tercekik dan mukena bagian depan sudah basah. Aku tak bisa berkata-kata lagi, tak berdaya di hadapanNya. Lama ku bersimpuh menengadahkan wajah dan tangan hingga akhirnya ku tertidur di atas sajadah.

Badanku terguncang dan kuterbangun karenanya. Samar kulihat wajah suamiku yang semakin lama semakin jelas, ternyata dia yang mengguncang tubuhku agar aku terbangun.

“Bangun Bund, pindah tidurnya ke tempat tidur. Nanti masuk angin kalau tidur di bawah seperti ini,” ujar suamiku mengingatkanku. Dia membantuku berdiri. Aku perlahan berdiri, badanku terasa kaku, mungkin karena aku tertidur dengan posisi yang tidak tepat.

“Ada apa? Habis menangis, ya? Matanya terlihat sembab. Mukenanya juga sedikit basah,” selidik suamiku yang membantu melipat mukena. Dia mengamatiku, tetapi aku berusaha menghindari tatapan matanya.

Ku terduduk di tepi pembaringan. “Ada apa?” tanya suamiku mengulang pertanyaan yang belum kujawab dari tadi. Dia pun duduk di sebelahku.

“Jika tidak bisa cerita sekarang, cerita nanti, istirahat dulu, sudah larut,” lanjutnya kemudian sambil mengelus kepala yang kuletakkan di bahunya. Aku merasa sangat letih hari ini, tetapi ada aliran rasa yang lain, aku merasa lega setelah menumpahkan segalanya dan mengadukannya pada pemilik kehidupan.

“Ayah sudah dari tadi datangnya? Maaf ya, Aku tidak mendengar Ayah datang,” ujarku.

“Enggak apa-apa. Tadi Rara yang membukakan pintu. Katanya, Bunda tadi sore nangis. Eyang, tidak keluar dari kamar, keluar hanya untuk makan saja. Mas Raka sudah tidur karena kecapekan futsal. Mas Akbar, baru pulang. Tadi Rara laporan ke Ayah seperti kereta api,” tutur suamiku tersenyum menceritakan tingkah Rara.

Rara putri bungsuku memang suka bercerita, saat Ayahnya pulang dia pasti menceritakan apa saja yang dilakukannya seharian dan apa yang terjadi di rumah selama Ayahnya tidak ada di rumah. Suamiku akan setia mendengar apa saja cerita Rara, karena kalau tidak menyimak cerita Rara, dia akan ngambek. Walaupun dia sudah kelas enam SD dia masih saja bersikap manja pada Ayahnya

“Tadi ada salah paham, Yah. Entah lah kenapa lidahku tadi siang, aku merasa tidak salah bicara, tetapi ibu marah-marah,” tuturku mulai bercerita. Kepalaku masih kuletakkan di bahunya yang nyaman untukku bersandar. Suamiku sabar mendengarkan aku menyelesaikan cerita.

“Ada enggak ya, kursus bicara dengan orangtua, supaya enggak ada lagi salah paham seperti ini. Capek, lo, Yah,” lanjutku. Suamiku memegang daguku dan mengamatiku dengan wajah penuh tanya.

“Kenapa ini, Aku semakin bingung Bund. Apa hubungannya kursus bicara sama salah paham dengan Ibu? Aku berterimakasih, Bunda sudah mau menerima ibuku dan menganggapnya seperti ibu Bunda sendiri. Ibu semakin hari memang semakin sensitif, mudah sekali marah. Tadi siang ada salah bicara apalagi?” tanya suamiku.

Ibu mertuaku beberapa bulan ini tinggal bersama kami. Sebelumnya ibu tinggal sendiri di Wonosobo, rumah mertuaku. Bapak mertua sudah lama meninggal, sedangkan anak-anak beliau merantau ke kota lain, bahkan ada yang di luar pulau dan luar negeri.

Namun, kondisi kesehatan ibu dan usianya yang semakin tua maka kami memutuskan untuk membawa ibu tinggal bersama kami, karena kami tidak dapat merawat beliau di Wonosobo. Awalnya ibu tinggal bersama adik ipar, karena adik ipar melahirkan anak kembar dan sedang masa pemulihan, sehingga aku mengusulkan pada suamiku untuk membawanya tinggal bersama kami.

Sebetulnya ibu mertuaku bukan tipe pemarah, tetapi beliau perfeksionis dan tidak mau disalahkan. Apapun dikomentari, jujur kadang aku juga capek. Mungkin pemilihan kata-kataku tadi siang kurang sesuai sehingga terjadi salah paham. Selama ini, aku memperlakukan ibu mertuaku seperti ibuku sendiri. Ibuku kerap mengingatkanku sebelum beliau meninggal agar aku memperlakukan ibu mertuaku layaknya aku memperlakukan ibuku.

"Rara itu pemalas, susah dikasih tahu, kalau pulang sekolah enggak mau langsung ganti baju," tutur Ibu yang melihat Rara datang. Padahal Rara baru masuk rumah, dia sedang melepas kaos kaki. Udara siang tadi cukup menyengat, kulihat Rara kecapekan sedang melepas penat sejenak, dengan duduk di kursi tamu.

Ibu langsung menegurnya, "Rara, pulang sekolah itu ganti baju dulu, baru duduk."

"Cuma duduk sebentar, Eyang. Rara capek, di luar panas sekali, ini juga mau ganti baju dan cuci kaki," jawab Rara spontan, cemberut dan berlalu begitu saja mengabaikan Eyangnya.

Sepertinya ibu tidak suka akan perlakuan Rara dan langsung menghampiriku. Hari ini aku sengaja mengambil cuti karena mengantar Ibu mengambil pensiun dan kontrol ke rumah sakit. Selain mengadukan Rara, ibu juga mengomentari Raka dan Akbar. Raka dengan kegiatan futsalnya, Akbar yang jarang ada di rumah. Awalnya aku yang berusaha menjawab dengan tenang, lama-lama agak emosi Namun, aku pun tetap menjawab keluhan ibu, satu per satu dengan tenang. Aku kurang nyaman ibu memberi label yang tidak baik terhadap anak-anak.

Tiba-tiba ibu marah dan berseru, “Aku mendidik anak-anakku juga begini dan semuanya sukses, termasuk suamimu, Rahmat! Kalau Ibu di sini hanya mengganggu kalian dan membuat kalian tidak nyaman, ya sudah. Aku kembali saja ke Wonosobo, besok Aku minta Rahmat mengantarku ke Wonosobo atau Aku pulang sendiri naik travel.” Ibu segera meninggalkanku dengan menangis sesenggukan.

Apa? Aku langsung menoleh ke arah Ibu dengan bergemuruh. Aku yang sedang menyiapkan makan siang, berhenti dan bingung. Mengapa ibu seperti itu? Apakah aku salah bicara, tanyaku dalam hati. Segera kuhampiri ibu ke kamarnya, tetapi pintu kamar terkunci. Kuketuk pelan pintu kamarnya dan meminta izin untuk masuk. Kusampaikan maafku, dari luar pintu, walaupun saat itu aku belum tahu salahku apa. Aku juga berusaha mengingat lagi kejadian barusan. Seingatku aku tidak membentak atau menghardik Ibu. Apa mungkin Aku tadi ada salah bertutur.

Cukup lama aku duduk di depan pintu kamar, menunggu ibu keluar dari kamarnya. Rara menghampiriku dan bertanya tentang apa yang terjadi. Aku hanya menyampaikan bahwa eyangnya sedang marah. 

Hari sudah semakin siang dan ibu belum makan siang. Kusampaikan juga bahwa makanan sudah siap. Aku juga meminta Rara mengajak eyangnya untuk makan siang bersama. Setelah beberapa waktu, pintu kamar pun terbuka dan Ibu keluar dengan mata yang sembab. Kuhampiri ibu dan bersimpuh di kakinya, meminta maaf jika aku tidak sopan dan tutur kataku tidak berkenan di hati. Ibu hanya menjawab, “Iya.” Tidak ada kata-kata lain yang keluar dari bibirnya. Aku yakin ibu masih marah. Segera aku mempersilakan ibu untuk makan siang dan Rara menemaninya, sedangkan aku menuju kamarku untuk merenungi kejadian barusan.

Suamiku mendengarkan semua ceritaku dengan seksama. 
“Ya sudah, sabar ya, sudah terjadi, Bunda mungkin salah bicara, tapi Ayah yakin Bunda orang baik, mungkin Bunda tidak sengaja berkata hal yang menyinggung ibu,” tutur suami sambil mengelus punggungku

“Bunda pasrah, Yah. Bunda sudah mengadukan semua ke Allah. Bunda tidak bermaksud tidak sopan. Bunda hanya ingin merawat ibu di masa tuanya. Semoga Ibu mau memaafkan Bunda, ya Yah,” lanjutku.

Suamiku mengangguk dan memelukku erat, “Ya sudah, yang penting Bunda sudah minta maaf. Besok pagi coba Ayah yang bicara pada Ibu, ya,” lanjut suami mantap.

Malam itu pun aku tidak dapat tidur nyenyak. Permasalahan ini sungguh berat bagiku, karena terkait hubungan dengan orang tua. Aku tidak mau menjadi menantu durhaka. Aku bersujud lagi di sepertiga malam, memohon ampun padaNya dan mengadukan semuanya lagi pada pemilik kehidupan serasa aku benar-benar bicara padaNya. Aku pasrah apapun yang terjadi, karena kutahu pasti Allah paham mana yang terbaik untuk umatnya. Hanya Engkau yang tahu isi hatiku Ya Allah.

Seperti biasanya, Aku menyiapkan sarapan dan makan siang untuk semua anggota keluarga. Ibu yang telah bangun membantuku dalam diam. Aku membiarkannya tidak mengajaknya bicasuamiungkin ibu masih tidak ingin bicara padaku. Saat bertemu suami, Ibu ngobrol  seperti biasa, tidak menyinggung keinginannya untuk pulang ke Wonosobo.

Setelah Raka dan Akbar berangkat sekolah, giliran Aku, Rara dan suami menyusul berangkat bekerja dan mengantar Rara sekolah lebih dulu. 

“Bu, saya minta maaf atas ketololan saya siang kemarin,” ujarku meminta maaf pada Ibu untuk kesekian kali.

Ibu hanya mengangguk dengan wajah datar. Suami yang melihatnya juga meminta maaf atas kesalahanku. Kemudian kami bertiga pamit berangkat. Tinggalah ibuku sendirian, menunggu Bu Asih yang membantuku membersihkan rumah, biasanya 3-4 jam dia ada di rumah kami untuk membersihkan rumah.

Sebetulnya aku khawatir ibu tiba-tiba pulang sendiri ke Wonosobo, tapi ku tepis semua pikiran itu. Sepulang kerja, aku bawakan getas, kue tradisional kegemaran ibu. Tampak ibu sedang duduk di ruang tengah melihat televisi bersama anak-anak. Tumben Akbar dan Raka ikut menonton televisi bersama, biasanya mereka asyik sendiri di kamar masing-masing. Mereka sedang asyik melihat acara kuis.

maha pemberi cahaya


Wajah ibu sudah tidak tegang dan tampaknya sudah tidak marah. Akupun tidak ingin memperkeruh suasana. Kusajikan getas dan singkong keju dan meletakkannya di meja tengah. Setelah membersihkan diri aku pun ikut bergabung bersama mereka, sambil menunggu suamiku pulang kerja.

Apakah hubungan tokoh Aku dan ibu mertuanya berangsur membaik? Adakah cerita menarik dibalik itu? Bagaimana bentuk pertolongan Allah pada tokoh Aku?

Bukunya masih bisa dipesan, lo. Selain itu ada 17 kisah nyata pula terkait pertolongan Allah itu nyata yang dirangkai dengan apik oleh mbak Aulia dalam buku Di Batas Logika Dia Mendekatiku.

Selamat membaca.

Read More

Cerita Inspiratif Untuk Anak SD, Semangat Rara

Selasa, 27 September 2022

cerita inspiratif untuk anak SD


Hai Sobat Dy, kali ini saya mengikuti sebuah kelas menulis cerita anak yang diselenggarakan oleh Sekolah Menulis Indonesia. Kelas berlangsung secara daring menggunakan media WAG atau WhatssApp Grup.

Ada dua pemateri yaitu mas Mahes (founder Sekolah Menulis Indonesia) dan mbak Ipop (penulis cerita anak). Kedua pemateri ini cukup andal dalam menyampaikan materi yang diberikan.

Pada akhir pembelajaran peserta diberikan kesempatan untuk membuat cerita inspiratif untuk anak SD. Tidak semua naskah lolos, hanya naskah yang telah direvisi sesuai koreksi yang akan dicetak.

Jumlah peserta yang lolos cukup banyak hingga akhirnya dibuatlah dua jilid. Judul bukunya adalah Aku Anak Hebat. Jumlah penulis yang terlibat dalam setiap jilidnya sekitar 30 orang. Karya saya terletak di buku jilid 1.


Di Balik Layar

Cerita yang saya susun berjudul Semangat Rara. Cerita ini terinspirasi dari cerita anak karya salah satu mentor menulis saya yaitu Lina Herlina. Salah satu bukunya yang berjudul Cerita Anak Muslim Berkarakter Hebat ini juga favorit anak-anak saya. Lain kali akan saya buat resensinya.

Salah satu ceritanya berjudul "Semangat, Adit!". Cerita tentang Adit, seorang anak SD yang harus berjalan kaki selama dua jam untuk menuju sekolahnya. Dia melakukannya setiap hari, karena di kampungnya yang terletak di tepi hutan belum tersedia sekolah dasar.

Jarak sekolah yang jauh tidak menyurutkan semangat Adit. Pesan guru Adit, bahwa jika ingin sukses harus bekerja keras, tertanam kuat di benaknya. Walaupun harus berjalan kaki menyusuri persawahan, kebun-kebun dan tepi hutan setiap hari. Adit.

Kebiasaan Adit yang rajin menulis di buku harian merupakan hiburan satu-satunya selama perjalanan pergi pulang sekolah telah membuat guru-gurunya terharu. Sehingga mau membimbingnya untuk menulis cerpen dan puisi. 

Hingga pada akhirnya Adit menjuarai lomba menulis cerpen tingkat nasional. Hadiah lomba tersebut adalah beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke SMP. 

Setiap kali membaca cerita ini, sayapun terharu. Sehingga akhirnya saya juga ingin membuat cerita dengan latar belakang yang hampir mirip. Tidak semua anak mendapatkan kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan.

Kadang seorang anak harus menepuh perjalanan jauh agar dapat bersekolah. Tak jarang pula anak yang putus sekolah karena kemiskinan.


Cerita Inspiratif Untuk Anak SD

Berikut adalah cerita yang saya ikut sertakan dalam antologi Aku Anak Hebat, dengan judul "Semangat Rara"

ronde dan angsle


Rara menyusuri jalan sepulang sekolah dengan menaiki sepeda mini miliknya. Di sebuah pertigaan menuju rumahnya, dia menghentikan laju sepedanya. Kemudian meletakkan sepedanya di depan toko plastik milik Bu Minah.

"Bu, beli plastik ukuran satu kilo dan tas kresek putih," ujar Rara pada Bu Minah yang baru memasuki toko. Bu Minah pun mengambilkan pesanan Rara.

Toko plastik Bu Minah adalah toko langganan Rara untuk membeli plastik yang digunakan jika ada pembeli yang ingin menikmati angsle atau wedang ronde. Maklumlah ayah Rara tidak memiliki kios untuk berjualan. Beliau berjualan menggunakan gerobak dorong dan hanya menyediakan beberapa kursi yang diletakkan di depan gerobak. 

Ayah Rara seorang penjual angsle dan wedang ronde. Beliau berjualan di depan toko dekat alun-alun kota Batu.

"Minum dulu, pasti Rara haus kan?" lanjut Bu Minah sambil memberikan kantong plastik berisi pesanan Rara dan minuman dalam kemasan ke Rara.

"Terima kasih, Bu," ujar Rara berbinar menyambut pemberian Bu Minah.

"Istirahat dulu sebentar di sini, nanti jika capeknya berkurang, Rara pulang," lanjut Bu Minah.

"Enggak apa-apa, Bu Minah. Ayah dan Ibu nanti khawatir kalau saya terlambat pulang. Saya juga membantu Ibu menyiapkan dagangan nanti malam," jawab Rara.

“Rara enggak capek setiap hari membantu Ayah dan Ibu setiap pulang sekolah?” tanya Bu Minah.

“Lumayan capek, Bu, tetapi Rara senang kok membantu Ayah dan Ibu,” jawab Rara tersenyum manis sehingga tampak lesung pipinya.

"Rara pulang dulu ya, Bu. Nanti Ayah dan Ibu khawatir," pamit Rara.

"Hati-hati di jalan ya Ra, salam untuk Ayah dan Ibu," jawab Bu Minah.

Bu Minah mengantarkan Rara menuju sepeda mininya dan mengamatinya hingga Rara menghilang di tikungan. Rara tidak pernah sekalipun mengeluh, dia anak yang baik, rajin dan tekun. 

Sepeda mininya selalu menemaninya pergi ke sekolah. Jarak yang cukup jauh dari rumah membuatnya memilih untuk naik sepeda, karena jika menggunakan angkutan umum membutuhkan biaya lagi.

Sepulang sekolah dia membantu orangtuanya membuat bahan pelengkap angsle dan ronde. Biasanya dia memotong roti tawar menjadi potongan-potongan kecil dan memotong kacang yang digunakan untuk isian ronde. 

Ibu membersihkan beras ketan dan memasaknya. Bergantian dengan memasak kacang hijau dan membuat kuah santan angsle dan kuah ronde. Sedangkan ayahnya, jika siang hari bekerja di bengkel sepeda motor dekat rumah dan jika petang hingga malam berjualan ronde dan angsle.

“Assalamualaikum,” ucap Rara saat memasuki rumah.

“Waalaikumussalam,” jawab Ibu yang sedang berada di dapur.

“Sholat dan makan siang dulu, Ra” lanjut Ibu.

“Iya, Bu,” jawab Rara.

Setelah membersihkan diri, sholat dzuhur dan makan siang Rara membantu ibunya di dapur. Siang itu Rara makan siang dengan lauk telur dadar dan tumis kangkung, makanan favoritnya. Lauk telur merupakan lauk yang jarang ditemuinya, biasanya hanya tempe atau tahu saja. Tampak lahap sekali dia menyantap makan siangnya.

“Bu, bulan depan ada study tour ke kebun raya Purwodadi. Rara ingin sekali ikut. Apakah boleh Rara minta uang untuk biaya kunjungan?” tanya Rara perlahan.

“Ra, saat ini, Ibu belum mempunyai dananya. Kita sama-sama berdoa pada Allah ya, agar Allah memberikan rezeki supaya Rara bisa pergi ke Kebun Raya Purwodadi,” jawab Ibu.

“Aku masih ada tabungan, Bu. Dari hasil menulis cerita di majalah anak-anak. Nanti tinggal menambah kekurangannya saja, Bu,” tutur Rara. Rara sering mengirimkan hasil karya tulisnya tentang cerita anak ke beberapa majalah anak. Dia menulis saat istirahat sekolah atau saat akan tidur. Menulis merupakan caranya untuk menghibur diri.

“Iya, sayang, kita sama-sama berdoa ya, agar Allah memberikan rezeki ya … Rara percaya kan, jika Allah Maha Pemberi Rezeki?” tanya Ibu. Rara pun mengangguk, menandakan dia mengiyakan pertanyaan ibu. Di dalam hati dia berdoa agar dia bisa pergi study tour.

---


Besok adalah hari terakhir pengumpulan dana kunjungan, karena minggu depan study tour ke Kebun Raya Purwodadi dilakukan. Rara pun bingung karena dia belum bisa membayar biaya kunjungan. Rara membongkar tabungannya, dihitungnya lembaran demi lembaran.

“Bu, tabunganku ada Rp. 100.000, masih kurang Rp. 50.000 lagi,” tutur Rara dan menunjukkan uang tabungannya. Dia ingin sekali bisa berangkat ke Kebun Raya Purwodadi dan dia memanjatkan doa pada Allah di setiap sholatnya. Namun dia juga pasrah seandainya tidak bisa berangkat.

“Ra, seandainya tidak jadi berangkat, tidak apa-apa ya?” tanya Ibu.

“Iya, Bu, Rara sudah ikhlas seandainya tidak jadi berangkat,” jawab Rara mengangguk pelan. Hatinya sedih, tetapi kondisi keluarganya berat untuk membayar Rp. 50.000,00. Dia hanya berharap pertolongan Allah, sehingga dia bisa berangkat study tour.

“Maafkan Ibu dan Ayah ya, Ra, belum bisa memenuhi keinginan Rara,” tutur Ibu sambil mengelus rambut Rara.

Rara pun terisak di pangkuan ibunya, dia ingin berangkat study tour karena hal tersebut merupakan kesempatan yang jarang diperolehnya. Penghasilan Ayah dan Ibunya dari bekerja di bengkel dan berjualan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.


---


“Assalamualaikum,” ucap Ayah saat memasuki rumah.

“Waalaikumussalam,” jawab Ibu dan Rara bersamaan.

“Yah, ini minumnya,” ujar Rara saat mengambilkan minum untuk Ayahnya yang baru pulang dari bengkel.

“Terima kasih ya,” jawab Ayah tersenyum.

“Ra, besok hari terakhir pembayaran study tour kan?” tanya Ayah.

“Ini Ayah sudah mengumpulkan kekurangan dananya. Pengunjung bengkel agak ramai seminggu ini, jadi Ayah dapat menyisihkan dana lebih,” lanjut Ayah yang disambut dengan senyum merekah Rara.

“Terima kasih ya, Yah,” jawab Rara memeluk erat ayahnya. Dia menangis terharu, keinginannya mengikuti study tour akhirnya terpenuhi. Rara pun memeluk ibunya juga.

“Nanti bekalnya bawa dari rumah saja ya, Ra. Ayah belum ada dana lagi untuk bekal Rara,” lanjut Ayah Rara.

“Rara sudah cukup senang bisa berangkat study tour, Yah,” jawab Rara mengangguk senang. Dia pun berterima kasih pada Allah yang telah mengabulkan doanya.

“Nanti, Ibu siapkan bekal untuk Rara, sehingga Rara tidak kelaparan selama perjalanan,” lanjut Ibu.

“Alhamdulillah, terima kasih, Bu” jawab Rara.

“Ayah, membersihkan diri dulu ya.” pamit Ayah.

Ibu dan Rara pun menyiapkan gerobak yang akan dipakai berjualan ronde dan angsle. Menatanya agar tidak jatuh selama perjalanan dan memastikan agar tidak ada yang tertinggal.

cerita anak insipratif


Penutup

Demikian cerita yang saya tulis. Semoga cerita inspiratif untuk anak SD tersebut menghibur dan menginspirasi anak-anak lainnya. 

Cerita Semangat Rara ini merupakan salah satu cerita yang disukai putri saya. Sobat Dy, bisa menceritakan cerita ini ke anak atau keponakan atau anak-anak di sekitar Sobat Dy tinggal. Mohon feedbacknya. Ditunggu di kolom komentar ceritanya

Read More