Kutunggu Kau di Keabadian

Jumat, 08 Agustus 2025

Senja di Pantai


Jangkar ingatanku terangkat ketika kami berada di sebuah bilik. Untuk kesekian kalinya aku mendampingi orang terkasihku dirawat di bilik ini. Bilik kecil yang sunyi. Sesekali bertegur sapa dan berbincang sejenak dengan pasien atau penjaga pasien serta perawat penjaga yang bertugas.

Jika bukan diri sendiri yang menghibur diri, siapa lagi yang akan melakukannya. Tidak banyak yang dapat dilakukan selama aku mendampingi belahan jiwaku mendapatkan perawatan. Apalagi ketika cairan penyembuh mulai dimasukkan ke dalam tubuhnya perlahan. Cairan tersebut membuat tubuhnya lemas, hingga tertidur.

“Sakit, Say,” keluhnya.

“Sabar ya, insyaAllah Abang kuat,” jawabku lirih yang kubisikkan di dekat telinganya. Aku pun hanya bisa tersenyum untuk menghiburnya.


Baca juga : Surat Kaleng Untuk Hani


Aku harus kuat untuknya, batinku. Sebetulnya bukan aku yang menguatkannya, tetapi justru dia yang menguatkanku. Semangat hidupnya yang tinggi dan tak ingin meninggalkanku dan anak-anaklah yang justru membuatku semakin kuat.

Tubuh kekarnya perlahan kehilangan kegagahannya. Efek cairan tersebut cukup dahsyat, tidak hanya sel yang sakit yang diserangnya, tetapi sel yang sehat pun tak luput mendapatkan dampaknya.

Berhelai-helai rambutnya pun lepas dari singgasananya sehingga kekasihku memintaku untuk mencukurmya bersih. Tak hanya itu, serangan mual yang serta merta membuatnya ingin mengeluarkan semua isi perut pun tak kalah kuatnya. Padahal nyaris tidak ada yang dikeluarkannya, karena minimnya asupan yang dapat dikonsumsinya saat pengobatan berlangsung.

Tak hanya itu nafsu makannya pun berkurang banyak. Semua terasa pahit baginya, seolah-olah indera perasa yang berfungsi hanya bagian pangkal lidah saja. Tak dapat dimungkiri efek samping mengonsumsi obat baik melalui injeksi maupun oral yang menyebabkan rasa pahit tersebut bertahan lama.

Sinar matahari yang hendak berlabuh sore itu menerobos masuk melalui jendela bilik. Sinarnya menghangatkan hati. Aku telah membantunya membersihkan diri saat itu. Suasana senja yang hangat menemaniku menyuapinya sedikit demi sedikit.

Sinarnya yang berwarna jingga mengingatkan kami saat awal menikah dulu. Kami menunggu matahari masuk ke peraduannya di Pantai Cenang, Langkawi. Panorama indah itu selalu dinantikan banyak orang, termasuk kami berdua yang sedang dimabuk asmara. Semoga kami bisa mengulang saat indah itu suatu hari nanti. Anggap saja saat ini kami sedang menikmati swastamita di Langkawi melalui jendela bilik rumah sakit.


Swastamita



Cinta itu menguatkan satu sama lain. Tatapan matanya yang hangat kali ini yang menguatkanku untuk kesekian kalinya. Harapan sembuh itu ada, batinku. Tak hentinya kupanjatkan doa dan harapan pada Ilahi agar memberi kami kekuatan untuk melampaui ini semua.

“Prang!” piring yang kupegang meluncur dengan cepatnya terlepas dari tanganku. Gelap. Sunyi.

***

Suara berisik ini menggangguku, kupaksa mataku untuk membuka, tapi terasa berat. Kugerakkan tanganku, nihil, tak ada tenaga untuk menggerakkannya. Ada apa ini, mengapa seperti ini?, batinku. Ingin kupanggil belahan jiwaku, tapi tak ada suara yang keluar dari bibirku.


Baca juga : Pertolongan Allah Itu Nyata Dalam Cerita Merengkuh Maaf


Perlahan kubuka netraku, sedikit cahaya yang masuk sudah cukup menggambarkan aku berada dimana. Kutemukan beberapa selang menempel di tubuh lemahku. Bunyi berisik yang tadi kudengar ternyata berasal dari alat monitor yang memantau keadaan organ vitalku. Tak ada seorang pun yang bisa menjelaskan padaku tentang ini. Kemana semuanya?

Datanglah seorang paramedis mendekat. “Alhamdulillah kondisi ibu sudah lebih baik dibandingkan kemarin. Istirahat dulu ya Bu,” ujarnya.

“Suami saya mana?” tanyaku lirih dan cemas.

“Suami ibu menunggu di ruang tunggu, sepertinya ditemani putranya. Beliau meminta kami menginformasikan jika ibu sudah sadar. Setelah ini ada dokter yang akan memeriksa kondisi ibu, sebentar ya,” tutur paramedis tersebut dengan sabar.

Dokter paruh baya datang menghampiriku dan menyapa dengan ramah. Dia menjelaskan beberapa hal yang tak dapat kumengerti pada perawat yang mendampinginya.

“Kondisi ibu sudah lebih baik, tetapi kami masih perlu memantau beberapa hal lagi sebelum ibu dipindahkan ke ruang rawat inap. Ibu berkenan ya?” sebuah pertanyaan yang tanpa perlu jawaban pun dilontarkan dokter yang masih tampak cantik tersebut. Akupun hanya bisa mengangguk.

“Saya bisa bertemu suami saya, Dok?” tanyaku sebelum dia beranjak meninggalkanku.

“Bisa, Bu, sebentar lagi ibu bisa bertemu dengan suami ibu,” jawabnya.

Lelaki paruh baya itu mendekat dengan senyum yang selalu kurindukan. Dia mencium keningku untuk beberapa saat. Harum parfumnya yang khas menyeruak, rasanya lama kutak menghirup harumnya.

“Sudah enakan?” tanyanya.

“Sepertinya sudah lebih baik. Aku kenapa? Yang kuingat terakhir piring yang kupegang jatuh. Setelah itu entahlah, rasanya gelap,” jawabku.

“Abang sudah enakan?” tanyaku balik padanya.

“Sudah, tadi pagi sudah bisa makan dengan enak, kemonya tinggal beberapa kali kan, semoga sudah selesai setelah ini. Kata dokter juga hasilnya sudah bagus” jawabnya.

“Kemarin, untung Rahman pas datang menjemput, jadi dia yang mengurusmu saat Say hilang kesadaran,” lanjutnya.

“Sekarang dia di depan bersama istrinya. Tadi dia mau masuk tapi tidak diperbolehkan oleh perawat, katanya diminta bergantian denganku,” imbuhnya.

“Aku sakit apa? Kenapa aku di sini? Ini ICU kah?” tanyaku beruntun karena penasaran.

Bukannya menjawab, dia justru menghela napas dan terdiam sejenak, sepertinya ada kendala untuk menjelaskannya padaku.

“Say dirawat di HCU, besok dijadwalkan pemeriksaan jantung secara menyeluruh. Mungkin kecapekan merawat Abang ya?” jelas suamiku perlahan. Walaupun dia memberitahukan berita yang tak ingin ku dengar ini dengan hati-hati, tetap saja hal ini membuatku terkejut. Sukmaku berteriak seakan tak menerima kenyataan pahit ini.

Mengapa Aku harus dirawat di HCU, tidak mungkin Aku dirawat di sini jika tidak serius penyakitku. Berbagai pertanyaan bersahutan di kepalaku

Suamiku membersihkan bulir bening yang mengalir dari sudut netraku. Menangis, ya ku hanya bisa menangis. Aku tak tahu apa penyakitku, badanku lemas, untuk bernapas saja berat rasanya. Aku tahu suamiku berusaha menenangkanku. Namun tetap saja Aku belum bisa tenang.

Semuanya terasa berat, belum selesai pengobatan kanker suamiku, sekarang giliran aku yang sakit. Istighfar dan syahadat berulang kali kuucapkan dalam hati untuk membuatku tenang. Aku pasrah dan menyerahkan semuanya pada Ilahi.

Tiba-tiba alat yang memantau kondisi vitalku berbunyi, bahkan lebih keras dari sebelumnya. Perawat segera berdatangan dan meminta suamiku untuk keluar dari ruangan. Perawat dan dokter dengan sigap berusaha memacu jantungku. Namun, usaha mereka tak sesuai harapan.

Semua terasa ringan dan tenang. Kulihat suamiku mendekatiku, tubuh yang terbujur kaku itupun tak dapat bergerak lagi. “Kutunggu Kau di keabadian,” bisikku. Kupeluk tubuhnya dari belakang, walaupun dia tak merasakannya.

15 komentar

  1. Cerpennya ada plot twist di ending ya mbak. Wah aku di cerpen ini kagum lho, ada kosakata yang udah jarang dipakai kayak swastamita=matahari tenggelam/senja. Terus ada netra=mata. Kosakata ini banyak kutemukan di puisi-puisi sastra romance (dulu). Dan bagus juga kalau di cerpen bisa masuk dan melebur. Bagus mbak tapi nyesek ya... :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak, ada plot twistnya. Mbak Dinda teliti banget, hanya berusaha praktik yang aku tahu ini. Ambil dari kisah nyata teman kerja yang sembuh dari kanker hanya saya dramatisir. Pasangan yang romantis hingga usia senja. Terima kasih ya mbak

      Hapus
  2. Daku gak pengen sedih 🥺
    Judul artikel nya seperti lirik lagu BCL, yang juga mengisahkan tentang perpisahan orang terkasih huhu. Kalau pisaunya yang seperti itu, membuat hati pastinya patah dan susah untuk move on

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak Feni. Wah hapal lagu BCL ya, penggalan lirik lagu BCL yang kupakai judul. Pisau apa nih mbak maksudnya?

      Hapus
  3. Ceritanyaaa bagus banget mbaaa...jadi berasa pengen baca lebih utuh lagi deh..dan ceritanya nie plot twist banget yg sakit siapa yg pergi duluan siapa...
    Tadi pas baca yg sub bab mikirnya apa yg diatas td cuma mimpi Say yaa tapi ternyata memang begitu adanya...
    Cakeppp mbaaa..ditunggu cerita2 selanjutnya 😍😍

    BalasHapus
  4. Awalnya aku pikir ini kisah nyata mba 😔. Sedih banget. Trus agak lega pas tahu ternyata fiksi ... Endingnya memang ga disangka. Orang yg kita pikir akan meninggal Krn sakit nya, malah si penjaga yg meninggal duluan.

    Aku jadi ingat pernah baca suatu cerita . Dia mimpi kehilangan teman2nya. Seolah nyata, dan dia punya feeling akan kehilangan temennya dalam waktu dekat. Jadi dia usaha banget utk memenuhi keinginan temannya. Tapi endingnya malah dia yg kecelakaan mobil, dan meninggal.

    Baca cerita yg ada pesakit kanker gini, aku sedih sebenernya. Krn ingat papa yg juga sedang berjuang utk sembuh dari kankernya..

    BalasHapus
  5. Mba keren banget cerpennya. Aku juga mikir apa ini dari kisah nyata ya..karena kata2nya sungguh puitis dan sendu, hingga tak sadar mataku jadi berkaca2

    BalasHapus
  6. Mba, aku dari awal sampe menjelang akhir mengira ini kisah nyata. Beneran berasa tiap part-nya tergambar jelas bahkan aku sampe berkaca-kaca bayangin kondisi kedua pasangan ini ya Allah 🥹🥹🥹

    Endingnya plot twist sangat sih. Bikin kejer ini kalau bacanya sambil dengerin musik cinta sejati. Beneran gambaran dua orang saling menguatkan. Cinta yang tulus, saling support dalam keadaan yang jauh dari kata ideal. Setiap detik kebersamaan berharga banget.

    BalasHapus
  7. Mbaaak...kok ku nangis yaa..hiks. plot twist banget sih. tapi dalam kehidupan nyata banyak kejadian plot twist kayak Gini mbak. Ini mirip kisah tetanggaku, tapi kebalikannya. Suami ngerawat istri sakit, tapi yang meninggal malah suaminya.

    BalasHapus
  8. Cerita ini begitu menyentuh, penuh kekuatan cinta dan ketabahan di tengah ujian berat. Doa terbaik untuk pasangan yang saling menguatkan hingga akhir, semoga kelak kembali dipertemukan dalam kebahagiaan abadi.

    BalasHapus
  9. dikhawatirkan yang pergi suaminya, lha kok malah dia sendiri yg duluan pamitan... beneran diluar dugaan ya akhirnya itu

    BalasHapus
  10. Ampun dah. Aku sesak membacanya. Sebenarnya, aku sudah menduga. Akan ada yang meninggalkan satu sama lain. Tapi, kok ya.

    Baktimu sudah pari purna, Say. Meski harus kelelahan.

    BalasHapus
  11. siapa yang nguliti bawang disini euy,,, nyesek bet ini cerpennya. plot twist sekali di ending huhuhuhu T_T

    BalasHapus
  12. Aku bacanya pelan-pelan, menikmati setiap kata demi kata. Jalinannya halus dan mengalir, apalagi pemilihan diksinya juga keren. Jadi penasaran baca sampai akhir.
    Bikin lagi Mbak...hehe

    BalasHapus
  13. Awalnya saya kira kisah sendiri, hehe, kisahnya bagus, tragis eh bikin sedih, apalagi kalau dibayangkan di keluarga sendiri, jadi mendalami, barakallah mbak.. cerpennya keren. Bisa nih dikirim ke media.

    BalasHapus

Terima kasih telah berkunjung dan membaca artikel hingga akhir. Silakan tinggalkan jejak di komentar dengan bahasa yang sopan. Mohon tidak meninggalkan link hidup.
Kritik dan saran membangun sangat dinanti.

Terima kasih